Suatu ketika Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk bertanya kepada seekor kerbau tentang perasaannya. Jibril pun mendatangi kerbau yang sedang berendam di sungai di bawah terik matahari. Ia berkata, “Wahai Kerbau, apakah engkau bahagia Allah ciptakan sebagai kerbau?”
Kerbau menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat bahagia menjadi kerbau. Allah memberi saya kesempatan berenang bebas di sungai. Itu jauh lebih baik daripada jika saya hidup sebagai kelelawar yang harus mandi dengan air kencingnya sendiri.”
Setelah itu, Jibril menemui seekor kelelawar dan mengajukan pertanyaan yang sama. “Wahai Kelelawar, apakah engkau bahagia Allah jadikan sebagai kelelawar?”
Kelelawar pun menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat senang menjadi kelelawar. Allah memberi saya sayap sehingga saya bisa terbang cepat ke mana saja. Itu lebih baik daripada jika saya menjadi cacing kecil yang tinggal di tanah dan hanya bisa merayap dengan perutnya.”
Kemudian Jibril mendatangi seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah. Ia bertanya, “Wahai Cacing kecil, apakah engkau bahagia Allah jadikan sebagai cacing?”
Cacing menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat bersyukur hidup sebagai cacing. Saya lebih bahagia demikian daripada harus menjadi manusia yang tidak beriman dan tidak beramal saleh. Jika manusia seperti itu meninggal, mereka akan menanggung siksa untuk selamanya.”
Kisah ini mengingatkan kita bahwa Allah telah melimpahkan banyak nikmat kepada manusia: iman, kesehatan, rezeki, dan berbagai karunia lainnya. Sayangnya, manusia sering melupakan nikmat itu dan jarang bersyukur.
Mensyukuri nikmat berarti kita merasa bahagia karena karunia Allah yang menuntun kita taat kepada-Nya. Bersyukur juga berarti kita memperbanyak pujian kepada Allah dengan hati dan lisan.
Kerbau, kelelawar, dan cacing sudah menunjukkan teladan. Mereka menerima keadaan masing-masing dengan penuh syukur. Begitu pula kita seharusnya memandang segala takdir Allah dengan husnuzan, karena pilihan-Nya selalu yang terbaik.
Mari kita biasakan bersyukur dalam setiap keadaan:
-
Kita mengucapkan Alhamdulillah ketika Allah memberi kita banyak anak, karena orang lain mungkin belum dikaruniai momongan meski sudah lama menikah.
-
Kita tetap mengucapkan Alhamdulillah meski Allah belum menganugerahkan anak, sebab kita masih memiliki waktu, tenaga, dan harta untuk membantu sesama.
-
Kita juga berkata Alhamdulillah meski belum menikah, karena Allah memberi kesempatan mempersiapkan diri dan berbakti penuh kepada orang tua tanpa harus berbagi perhatian.
Akhirnya, mari kita renungkan: apakah kita merasa bahagia karena bersyukur, ataukah kita bisa bersyukur karena bahagia?
Sebagaimana doa Rasulullah ﷺ:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat-Mu, dari turunnya siksa-Mu secara tiba-tiba, dari berkurangnya kesehatan yang Engkau anugerahkan, serta dari setiap kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
Nikmat terbesar dalam hidup adalah kesempatan untuk mendekat kepada Allah. Salah satu jalannya adalah berziarah ke Tanah Suci, menunaikan ibadah umrah, dan merasakan langsung keagungan Ka’bah.
Mari kita wujudkan rasa syukur bukan hanya dengan ucapan, tetapi juga dengan amal. Jadikan perjalanan umrah sebagai momentum memperkuat iman, memperbanyak syukur, serta menata hati agar lebih dekat dengan Allah.
Alhamdulillah, kini kesempatan itu terbuka lebar. Bersama kami, mari raih pengalaman umrah yang penuh keberkahan.